Archive for the KESADARAN RASA SEJATI Category

Posted in KESADARAN RASA SEJATI on Mei 29, 2009 by skmglobal

KESADARAN RASA SEJATI

DALAM PERKEMBANGAN

ILMU ILMIAH MODERN DAN INTUISI

” MELATIH DIRI MENGOLAH INTUISI DAN RASA SEJATI”

Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban (misteri), yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengakui kelemahannya dan menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran yang semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan adalah hal yang tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu”. Itulah yang terjadi dalam perkembangan saat ini.

Kesadaran Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan

Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi tubuh atau fisik (wadag), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum lah dari keseluruhan rahasia yang ada Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib atau dalam dunia ini ( bumi ) adalah satu yang terdiri dari ¼ bagian nyata (dhohir) sedangkan bagian yang lainnya masih misteri ( gaib ) rahasia yang belum terbuka. Yang juga mempunyai peranan dalam mempengaruhi keadaan kehidupan manusia yang ada. Intuisi (gerakan hati) telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin mengetahui sesuatu hal. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh (asing, unik dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis anggapan yang tidak mungkin !… Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya.

Kesadaran adalah Proses yang Dinamis

Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad/ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar atau rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah.

Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta

Semakin tinggi kesadaran manusia menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan hal sesuatu yang konstruktif atau membangun menjaga keseimbangan untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif atau merusak (laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Pengasih maka kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau benar sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Tetapi pada ke empat unsur ( air, api, bumi( tanah) dan angin ) haruslah diseimbangkan sehingga perbuatan kita dalam kehidupan menjadikan berkah bagi lingkungan sekitar dan alam semesta dengan segala isinya yang ada. Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. Penentangan terhadap rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran dimuka bumi. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; ngono yo ngono ning ojo ngono (jangan berlebihan atau lepas kendali), ojo dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling dan waspadha.

TAHAP – TAHAP KESADARAN

1. Kesadaran Jasad

Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini lah terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui panca indera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsangan (stimulus) keadaan disekitarnya. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri atau pertahanan diri (survival) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi.Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk, salah-benar dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam dan kondisi alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia pada dasarnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam (harmonisasi).Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan wilayahnya ( survival territorial ), atau demi memenuhi kebutuhan perutnya, itu bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk. Hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.

Kesadaran Akal Budi

Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran akal-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara percobaan atau ( empiris ).

1. Kesadaran Nalar ( Rasionalisme )

Sejarah filsafat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup ini. Pertama idealisme atau rasionalisme, suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, kategori, sebagai narasumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup dianggap sebagai nilai kebenaran walau terkadang bersifat tidak pasti. Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam skup kesadaran ini masih dapat diterima akal fikiran (koherensi). Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis (alasan) kemudian diikuti oleh dasar pemikiran yang lain yang mendukungnya. Dari dua alasan (premis) ini kemudian dapat ditarik kesimpulan sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).


2. Kesadaran Empiris ( Realisme )


Kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian berdasarkan percobaan (empiris) dan melalui uji kebenaran (eksperimen). Di dalamnya harus ada proses yang menjadikan dasar penguat kebenaran. Dalam perkembangannya empirisme disebut juga Realisme yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Dalam kesadaran empiris atau berdasarkan percobaan prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran yang didukung oleh kebenaran yang ada (korespondensi). Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-cek antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata. Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran dan kebenaran di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan masih terdapat kelemahan.

Kesadaran Menurut Peradapan Barat

Sejenak kita kembali kebelakang (flash back), sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme yang menuntut percobaan atau penyelidikan (eksperimen) sebagai upaya pembuktian (verifikasi) kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang pesat, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?

Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. :

Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena) Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?.

Kedua, tentang hakikat Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?

Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang pengetahuan ( knowledge ) pada zaman renaissance. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat maju. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.

Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat kehidupan di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan kodrat/hukum alam. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata wadag (fenomena) toh tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesta, dengan tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat” hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan.

Keterbatasan Kesadaran Akal Budi :

Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui suatu kebenaran, berupa realitas hakekat. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut :

Pertama, sebatas pengetahuan Teori atau cognitif (cognitive science). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian muncul dan berkembang (emerge). Kesadaran dalam pendekatan ini dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis. Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau fenomena. Kesadaran cara ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.

Kedua, sebatas penafsiran subyektif. Di dalam pandangan ini kesadaran dilihat sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.

Ketiga, bersifat relative-obyektif. Dalam disiplin sosiologi terdapat pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi dan anggapan bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam cara pandang (perspektif) sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (spiritual) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.

KESADARAN INTUITIF ( Intuisi )

Yakni kebenaran yang bersifat intuitif yang merangkum kedua, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi (higher consciuousness) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (higher reality). Sebuah metode sebagai upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan yang esensial Tampaknya dengan memiliki kesadaran itu realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau non-sense. Bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu (skeptisisme). Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu. Dengan kata lain, secara tidak langsung orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu. Wajarlah lah mengapa sikap para filusuf besar dengan mengatakan bahwa semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya.Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam berasal dari hati yang masih perlu di jabarkan. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi (gerakan hati) menurut saya adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung dari dalam hati tanpa melalui penalaran dan pengamatan atau pandangan (observasi) terlebih dahulu. Pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa usaha. Berangkat dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif yang banyak mengandung misteri kehidupan, agar melakukan pendekatan secara mendalam. Setidaknya penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa eksistensi kesadaran adalah suatu teka teki (enigma), yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika). Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Manusia tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan intuisi manusia. Disebut sebagai teori energi-energi halus, Di dalam pendekatan ini, hipotesis penelitian dilakukan dengan berpijak pada asumsi atau pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini bisa mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia yang sangat berarti (signifikan). Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti : tenaga dalam, aura, prana, ki, dan chi. Secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia dan sebaliknya.

Meredam Arogansi Ilmiah

Jika dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan tetapi, paling tidak menegaskan bahwa fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini arogansi ilmiah sedapat mungkin harus dicegah, betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan panca indera saja seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri kehidupan. Arogansi ilmiah justru membuat manusia teralienasi dengan ke-ada-an misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen “orang suci” yang telah mengedepankan kesadaran intuisi umat manusia dengan doktrin yang menciutkan hati. Ironis sekali, sebuah kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya. Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapapun yang tertarik mengembangkan intuisi harus meredam arogansi ilmiah termasuk arogansi dogma-dogma, lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. Jika rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat– bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada di luar fikiran kita sebagai kebenaran pokok (esensial).Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai modal utama untuk membuka kesadaran intuitif kita. Yakni, adanya kesadaran bahwa kecenderungan rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya. Terlebih lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana pembanding (komparatif) lainnya, sebagai data yang akan diolah rasio.

Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran

Sekalipun gaib atau abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara logika dengan penyelidikan atau percobaan (empiris). Hanya saja pembuktian terencana dan empiris lebih sulit dilakukan. Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat spontanitas saja. Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada korelasinya. Seorang seniman yang sejati dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. Intuisi adalah suatu gerakan hati atau bathin yang berawal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih.Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat kontemplatif. Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi, yoga, tafakur dan perenungan-perenungan (kontemplatif) dengan cara lainnya. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia berupa kemampuan percaya tentang kegaiban atau supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi yang efektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.

Contoh Bekerjanya Intuisi

Intuisi dianggap sepele namun tak bisa disepelekan. Karena melalui intuisi manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan mustahil dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan. Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga al hasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika milik sendiri.Dalam alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya karena dalam metode intuisi kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi. Selain itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. Lamanya pembuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka.Contoh lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati (bathin) dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca yang budiman pernah mengalami kejadian serupa. Dalam hal ini bebas mengartikan intuisi anda sebagai ilham, atau kah nurani, bisikan gaib, karomah, wangsit, laduni atau sasmita dan lain-lain. Seperti contoh misalnya anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba disaat itu juga orang yang anda pikirkan menelpon atau mengunjungi anda, hal ini bukan merupakan suatu yang kebetulan tetapi mengarah kerja intuisi yang lebih dulu. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan. Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata telanjang (wadag) anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki, semakin mudah menyaksikan eksistensi gaib di sekitar anda. Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula indera ke enam (six-sense). Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan, akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh temuan baru (discovery) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. Bahkan apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan metode ilmiah sekalipun. Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (higher consciuousness) tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran.Dari contoh di atas tampak bahwa intuisi bekerja secara misterius, kesadarannya dapat melampaui kecepatan kesadaran akal-budi. Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan. Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta untuk membuka segenap misteri yang ada sebagai kebenaran yang pokok (esensial) yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia.

Intuisi Menurut Peradapan Timur

Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai anugrah dari Tuhan yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan. Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.

TRADISI JAWA

Manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui kasunyatan (kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional (akal-budi) dan empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur rasa di luar jasad, indera ke-enam (six-sense). Dengan mengasah intuisi atau pemberdayaan indera (ke-enam) sebagai indera perasa kita yang ada dalam rasa sejati (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki rasa sejati sebagai indera ke-enam (six sense). Namun demikian indera ke-enam kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka indera ke-enam terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa perasaan & pengetahuan.Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks perasaan pengetahuan tersebut harus dibedakan dengan perasaan panca indra. Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai rahsa sejati atau rasa jati. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau berfikir dengan hati. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan “menggalih” (analisa menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu persoalan berat. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku atau kesadaran rasa sejati tidak bersifat statis tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran.Tradisi Jawa mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi indera ke-enam kita. Yakni antara lain dengan cara semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata, dan laku prihatin. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan nafsu negatif atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas rahsa sejati, yakni berupa indera ke-enam kita yang menjadi “mata tombak” mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan dinamisme jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai ruang-ruang gaib dengan menyaksikan berbagai eksistensi metafisika nan mistis. Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat. Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan mistisisme. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan rahsa sejati dengan cara: nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (waskitha). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disisipkan pepéling (pengingat). Keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada kewaskitaan para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan membaca masa depan (futurology). Berbagai ajaran spiritual Nusantara bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu. Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga pencapaian hasilnya berbeda-beda. Menjadi seorang spiritual tidak lah mengenal kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “gentur laku” mulai dari wong cilik, rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan. Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi sebagai cagar budaya sekaligus menjadi centrum cagar spiritual hasil “olah batin” para leluhur bumi nusantara. Pada saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dan sebagainya. Paling tidak terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi. Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci dan sebagainya, karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali kemampuan intuitif sejak lahir sebagai talenta untuk menemukan kebenaran sejati. Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat yang berada dalam ruang universal. Tidak diperlukan pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan akan beresiko fragmentasi, (terkotak-kotak / terpecah) terbatas dalam ruang yang sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad. Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga ngelmu tuwa, yang berhasil meraihnya disebut “uwong tuwa” atau sesepuh. Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau ngelmune tuwa atau orang yang tinggi ilmunya. “Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (mbodoni), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap”. Jika berhadapan langsung pun kadang justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa disangka-sangka dan diduga, dikira-kira ketinggian falsafah hidupnya. Bagi yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif thinking. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi yang ada di luar akal-budi kita. Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri. Asal mau membiasakan diri, memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri atau ditolak. Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama, selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita. Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan-angan dan khayalan keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati disebut pula sebagai hati nurani (kareping rahsa).

Kesadaran

Dalam ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni; (1) Jasad. (2) Akal-budi. (3) Nafsu. (4) Roh. (5) Rasa. (indera ke-enam) (6) Cahya. ( Nur, Cahaya ) (7) Atma. ( Jiwa yang melebur dalam Ruh / manunggal )Intuisi setara dengan kesadaran urutan ke lima. Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: Yakni orang pilihan dan orang awam. Orang Awam ( kesadaran lahiriah ) Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (nawung kridha) atau wahdatul wujud, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teks book, referensi) dan dari mulut ke mulut serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.

Orang Pilihan ( kesadaran batiniah )

Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini lazim disebut Nawung Kridha atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat kesadarannya semakin tinggi pula. Disebut juga orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran curiga manjing warangka, atau dwi tunggal (loroning atunggil), pamoring kawula Gusti atau manunggaling kawula Gusti. Dalam agama Buddha kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana, sedangkan dalam terminologi istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya Orang Biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati sajroning ngaurip (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (rahsaning karep) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (kareping rahsa). Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya ajaran kita.

Beberapa Tipe Orang Pilihan

berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni : 1. Tipe Etis Yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah waskita dan susila anor raga. Orang pilihan tipe etis telah mampu megharmonisasikan antara batin dengan perbuatannya. Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan dalam cerita wayang dengan lakon Wisnu Murti, yakni Prabu Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang Bimasuci, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai kesadaran triloka yakni : alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut rijalul gaib. 2. Tipe Kosmologis Yakni olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal (alam semesta) dan mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos mencapai kesadaran tinggi dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi ke Tuhanan. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati, yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin paripurna, batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata. Maka manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat cahya sejati nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang maha tunggal yakni; sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal alam kelanggengan nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya sejati disebut pula (nurulah). Asal roh adalah hakekat cahaya yang suci maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. 3. Tipe Teologis ; Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara rasional logika sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif (cara pandang) psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat di mana suatu agama dahulu dilembagakan

Ngelmu Kasampurnan

Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi manusia. Maka dalam istilah ilmu kasampurnan disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran. Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Tradisi Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil menggapai ilmu kasampurnan, yakni: jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah. Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar kemampuan akal-budi (kawaskithan). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah : wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.Pencapaian kesempurnaan hidup disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau hakekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan sembah atau catur sembah yakni : sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih rahsa sejati yang di jabarkan tentang petunjuk atau laku atau langkah. Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Hal itu mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (solah tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud penyatuan yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan batin atau bawa (perilaku batin). Wujud solah akan merefleksikan keadaan bawa dalam batin, namun kesadaran bawa juga termanifestasikan ke dalam wujud solah (kasat mata). Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan bawa, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual) dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan (perwujudan).

Kemampuan Hewan dengan Manusia

Mengulas tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri pada jalur hukum alam atau kodrat Tuhan. Namun kenyataannya demikian adanya, karena di satu sisi akal manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu yang resikonya adalah penguasaan nafsu atas jiwa. Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah kira. Jalan satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran, sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah, akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina di dunia.Dalam konteks demikian manusia dan hewan adalah sama, sebagai wujud makhluk yang diciptakan tuhan untuk mengisi kehidupan di bumi ini. Tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karenanya hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas keterbatasan dan kemampuannya. Sebaliknya manusia mempunyai tugas untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan, kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya adalah malapetaka di dunia yang diterimanya. Demikian penulis memaparkan semoga bermanfaat dan berguna bagi kita semua terima kasih.. Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah, Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.Satu kebenaran intuisi seseorang bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuisi Tidak selalu sempurna pasti ada kekurangan Maka permakluman yang diharapkan Tanpa mengurangi rasa hormat Penulis Mengucapkan Insun Rahayu Balarea Waluya. WWW.SKMGLOBAL.WORDPRESS.COM ANOM.SKMWILTIM